Tuesday 28 March 2017

Kegiatan Santri TPQ Nurul Hidayah Jatiarjo Tonggowa

Selasa, 14 Maret 2017

Masalah moralitas di kalangan pelajar dewasa ini merupakan suatu masalah bagi kita semua yang harus mendapatkan perhatian secara khusus, berbagai perubahan yang terjadi dalam seluruh aspek kehidupan membuat para pelajar harus kita tata mulai dari pergaulan, gaya hidup, hingga pandangan-pandangan mendasar serta perilaku dalam menghadapi era globlisasi.
Arus globalisasi teknologi dan budaya yang tumbuh dan berkembang secara cepat menimbulkan dampak tersendiri yang tidak selalu positif bagi kehidupan remaja dan pelajar, padahal pada sisi elementer mereka diharapkan mampu memelihara dan melestarikan tradisi, cara pandang dan aspek moralitas luhur bangsa Indonesia, maka  sangatlah wajar jika program pendidikan nasional tahun 2000 mengamanatkan kepada masyarakat untuk memberlakukan lagi pendidikan budi pekerti luhur sebagai pelajaran yang wajib diberikan kepada siswa.
Di samping itu kita sering kali kecewa tentang pendidikan agama yang diajarkan dalam pendidikan formal yang kurang diperhatikan. Padahal, pendidikan agama inilah yang menjadi sentra atau dasar dari segala tingkah laku dalam kehidupan mereka. Kurangnya pendidikan agama pada usia dini mengakibatkan turunnya nilai moral pada anak tersebut.
Mendidik anak pada masa kecil berarti meletakkan fundamen dan kepribadian, sebab pada masa kecil merupakan masa pembentukan pola dasar kepribadian seseorang. Di bawah interaksi faktor dalam diri anak dan faktor lingkungan di mana anak berada, anak akan berkembang selama hidupnya di mana perkembangan tersebut meliputi aspek motorik, bicara pemahaman dan sosial. Salah satu lembaga pendidikan agama yang mampu melakukan hal tersebut adalah taman pendidikan al-qur’an.
Taman Pendidikan Al-Qur’an adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya. Taman Pendidikan Al-Qur’an juga merupakan tempat untuk mendidik moral para pelajar sejak dini yang berasaskan Al-quran dan Hadist.
Hal ini bertujuan untuk membantu meletakkan dasar Peserta didik (santri) ke arah perkembangan sikap, perilaku, pengetahuan agar menjadi muslim yang dapat menghayati perkembangan pertumbuhan selanjutnya serta mampu menjadikan pemuda-pemudi yang berkualitas demi menghadapi era globalisasi saat ini dan menjadikan insan yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT











TPQ Nurul Hidayah

Di TPQ Nurul Hidayah selain belajar baca tulis Al Qur'an, jugak mengajar terhadap siswa untuk peduli terhadap lingkungan. anak didik tidak hanya di beri teori tapi kita mengajak untuk prekatek langsung ke lapangan, salah satu kegiatan yang kita lakukan yaitu bersih bersih di sekitar gedung TPQ dan di Rt 31 dan Rt 32. selain itu anak didik kita ajak untuk mengelolah sampah tersebut. sala satunya untuk sampah organik kita kelolah buat kompos. untuk kertas kita daur ulang kembali kita jadikan kertas lagi.
tujuan kami mengadakan kegiatan tersebut, supaya anak anak punya lepedulian terhadap lingkungan "sampah".









Pemetaan Potensi Desa Jatiarjo Tetapkan Dua Komoditas Utama





Masyarakat Desa Jatiarjo tetapkan kopi dan nangka sebagai komoditas unggulan untuk dikembangkan. Keputusan tersebut merupakan hasil forum Analisis Potensi Pertanian, Senin (13/02/2017). Dua komoditas ini dipilih karena dinilai paling berpengaruh terhadap hajat hidup masyarakat Desa Jatiarjo. Selain karena kuantitas panen yang paling banyak, dua komoditas ini merupakan komoditas khas Jatiarjo yang tidak dimiliki oleh desa-desa lainnya. Penetapan dua komoditas ini penting untuk menentukan langkah pembangunan desa agar lebih efektif dan efisien.
Nuroso, ketua kelas Sekolah Inovasi Tani Indonesia (SITI) Jatiarjo mengungkapkan bahwa sebenarnya komoditas buah-buahan yang tumbuh di Jatiarjo banyak sekali. Namun seiring berjalannya waktu komoditas buah-buahan tersebut mengalami penurunan jumlah produksi.
“Dulu yang paling terkenal itu ada empat, nangka, jambu, sama nanas dan alpukat. Sekarang tinggal nangka. Itu (nangka) pun sudah mulai berkurang,”  tuturnya saat diwawancarai di sela aktivitas forum Analisis Potensi Pertanian.





Nuroso Adi (kanan) Saat Mempersiapkan Pelaksanaan Forum Analisis Potensi Pertanian
Nuroso Adi (kanan) Saat Mempersiapkan Pelaksanaan Forum Analisis Potensi Pertanian
Teknik penanaman dan perawatan yang kurang baik disinyalir menjadi penyebab menurunnya kuantitas dan kualitas panen buah nangka. Berdasarkan pengamatan Nuroso, Saat ini mulai banyak buah nangka yang masak tidak sempurna dan cepat busuk. Buah yang busuk atau rusak tentunya tidak masuk dalam hitungan jumlah panen.
“Ada beberapa yang memang punya pohonnya, tapi ketika pohon tidak ditata dengan baik sehingga setiap panen tidak berhasil. Contohnya, ketika musim hujan Kalo tidak di disonggro, dikemuli, diblongso semacam itu akhire waktu panen jadi busuk,” tutur Adi, sapaan akrab Nuroso.
Jumlah produksi memang berbanding lurus dengan jumlah tanaman. Saat ini jumlah tanaman nangka di Jatiarjo semakin menipis, sehingga jumlah produksi juga semakin menurun. Menurunnya jumlah tanaman nangka tidak lain disebabkan oleh penebangan pohon. Beberapa pohon nangka ditebang untuk dimanfaatkan kayunya sebagai bahan dasar pembuatan furniture. Kayu nangka dianggap kuat dan bagus digunakan sebagai bahan furniture atau mebel rumahan. Selain itu pohon nangka banyak berkurang karena lahan tempat pohon nangka ditanam dibeli para investor, pohon-pohon akhirnya ditebang.
“Rata-rata kan nangka di ladang kita masing-masing, nah lahan kita itu banyak yang dibeli oleh investor entah dibuat apa, wisata dan sebagainya. Ini yang namanya berkurangnya pohon nangka untuk orang lokal itu sendiri. Hanya orang-orang tertentu sekarang yang punya. Kalau dulu ya, di musim panen nangka, orang-orang ngomong sampe gak laku karena saking banyaknya. Nah kalau ini kebalik, sekarang ini berkurang, “ imbuhnya.

Strategi Pengembangan Komoditas Nangka

Meski banyak tantangan dan sedang mengalami penurunan jumlah panen, masyarakat tetap optimis untuk terus menggenjot produktivitas nangka. Masyarakat bertekat untuk mempertahankan nangka sebagai ciri khas desa Jatiarjo. Beberapa strategi dijelaskan oleh Adi sebagai upaya pengembangan nangka.
Salah satu teknik meningkatkan produktivitas nangka adalah “pengerdilan”. Teknik pengerdilan ini terinpirasi dari semakin berkurangnya luas lahan tanam nangka. Karena canopy (tutupan) tanaman yang lebar, satu tanaman nangka memerlukan lahan yang luas untuk menanamnya. Mengurangi ukuran pohon dengan “pengerdilan” dapat meminimalisir kebutuhan lahan. Pada akhirnya petani dapat menanam banyak pohon nangka dengan lahan yang tidak terlalu luas.
“Lahan-lahan untuk kebun sudah dijual. Jadi kami membuat satu pengerdilan pohon nangka meskipun lahannya gak banyak tapi bisa memproduksi banyak. Kalau tidak dikerdilkan pohonnya kan besar, kalau dikerdilkan pohon bisa ditanam lebih banyak, dan biar nama Jatiarjo untuk desa nangka balik lagi. Pingine ada satu icon seperti gawelah patung nangka,” Ujar pria yang berprofesi sebagai penyiar radio tersebut.

Merencanakan Wisata Edukasi Kopi

Selain nangka, komoditas unggulan lainnya adalah kopi. Berbagai varietas kopi dimiliki oleh Desa Jatiarjo. Jenis kopi robusta, arabika dan liberica bisa tumbuh di desa ini. Adi menjelaskan bahwa, kopi di desa ini merupakan kopi terbaik, hal itu diakui sejak zaman penjajahan Belanda.
“Sedangkan untuk kopinya memang mayoritas di sini mulai dari nenek moyang saya dulu. Di sini adalah lahan kopi yang terbaik mulai jaman Belanda. Dan orang sini juga suka minum kopi. Kopinya juga macem-macem,” ungkap Adi.
Melihat potensi dan sejarah kopi, warga bertekad mewujudkan Jatiarjo sebagai desa wisata kopi. Wisata berbasis edukasi kopi tersebut akan menyuguhkan praktik-praktik keilmuan budi daya kopi, mulai dari pembibitan, teknik budi daya, proses pengolahan kopi hingga display pemasaran kopi. Desa wisata kopi merupakan bentuk strategi masyarakat Jatiarjo dalam pengembangan pertanian sektor kopi.
“Jadi katakanlah kalau misalnya kita punya tempat 10 kali 10 (meter) dibuat model edukasi pertanian, mulai dari benih sampai menjadi bibit, sampai pasca panen. Nah, nanti juga ada tempat sendiri kayak ibarat kopi mulai dari proses yang tradisional, kalau yang tradisional kan lagi in juga. Minimal ada dua contoh, jadi ada ini yang tradisional, (ada juga) ini yang modern. Jadi ada dua jenis pembuatan pasca panen untuk menjadi bubuk,” papar Adi.
Selain edukasi pembelajaran kopi, para pengunjung juga akan dimanjakan lidahnya untuk menikmati kopi asli khas Jatiarjo. Sehingga diharapkan nantinya ada kenyamanan pengunjung ketika memasuki wisata kopi.
“Biar lebih menyentuh dibuatlah tempat minumnya juga. Artinya yo opo orang-orang ke sana itu tidak hanya sekedar belajar, tapi juga ngopine pisan, dikei plus wifi gampanganne,” ujar Adi.
Wisata edukasi kopi rencananya akan bertempat di salah satu dusun di Desa Jatiarjo guna memudahkan akses saat kunjungan. Dengan demikian para pengunjung yang ingin belajar dan melihat proses pembuatan kopi tidak perlu susah payah ke hutan.
“Ke depannya ada satu komunitas dari kelompok ini (kelompok tani Jatiarjo) yang akan membuat satu tempat khusus sebagai tempat edukasinya. Jadi kita tidak perlu ke hutan karena lahannya ada di sini (di tengah desa),” terang Adi.
Sementara itu, di sektor pemasaran masyarakat tidak mengalami banyak kesulitan. Masyarakat mengaku sudah berpengalaman dalam hal pemasaran serta promosi terkait produk kopi.
“Untuk pemasaran Insyaallah di Jatiarjo ini sudah cukup bagus karena kebetulan kayak kopi Djaran (salah satu  ini sudah sampai ke luar negeri,” tukas Adi. [Diyah]

Petani Jatiarjo Mengidentifikasi Sembilan Aset dan Potensi Desanya


January 30, 2017


Sebuah masyarakat dapat dikatakan sukses apabila memiliki karakter mandiri dan mampu menggerakkan segenap potensi yang mereka miliki. Kemampuan masyarakat dalam menjalankan proses pembangunan yang didukung oleh semua unsur sumber daya, potensi dan aset yang mereka miliki pada akhirnya akan menjadi kunci bagi proses perbaikan kesejahteraan mereka.
Pembahasan mengenai aset dan potensi menjadi perhatian publik karena hal ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat maupun pemerintah desa. Jika dikelola dengan baik, aset dan potensi desa dapat menjadi salah satu alternatif sumber pendapatan desa yang pada ujungnya digunakan sebagai pendanaan pembangunan oleh pemerintah desa. Di sisi lain, penggerakan aset dan potensi desa mampu membuka kesempatan bekerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dalam memulai proses penggerakan aset dan potensi desa, diperlukan pola pikir yang positif dalam memandang kondisi masyarakat. Untuk menstimulus munculnya pandangan positif tersebut, para peserta Sekolah Inovasi Tani (SITI) diminta menceritakan arti kesuksesan yang pernah dialami selama menjalani kehidupan baik secara individu maupun dalam posisinya sebagai bagian dari masyarakat. Secara bergantian, para peserta SITI pertemuan pertama pada Rabu (30/01/2017) menceritakan kisah sukses kehidupan rekan-rekannya.
L. Riansyah, fasilitator program Pendidikan Agrobisnis Desa Inovatif (PADI) mengungkapkan bahwa perlu pikiran positif dan optimisme untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
“Untuk membaca dan melihat itu semua (aset dan potensi pertanian) kita harus membangun paradigma positif, membangun khusnudzon, membangun mata batin yang jernih untuk melihat apa saja hal positif untuk melihat kekuatan apa saja yang bisa dikembangkan di desa,” ungkap Rian.
Kisah kehidupan yang telah diceritakan ini setidaknya dapat menggali potensi sumber daya manusia yang tertanam dalam setiap diri para peserta. Setelah mengetahui potensi sumber daya manusia dan muncul optimisme terhadap kemampuan setiap individu, barulah proses pembelajaran dilanjutkan dengan melakukan identifikasi aset dan potensi yang lainnya.
Mengenai aset dan potensi desa, Edi Purwanto menyatakan bahwa masyarakat sebenarnya tahu bahwa mereka memiliki potensi namun sering kali tidak mengetahui aset dan potensi tersebut secara terperinci. Lebih jauh, pola pembangunan dan pemberdayaan konvensional yang ditanamkan kepada masyarakat selama ini masih terpaku pada analisis masalah. Hal ini kemudian mengalihkan perhatian masyarakat sehingga selalu tertuju pada masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Potensi yang kita miliki dan dalam keseharian memberikan kemanfaatan yang luar biasa, tidak pernah kita perhatikan. Misalnya begini, kita setiap hari berangkat ke sawah atau ke tegal, kita melewati jalan dengan pepohonan di sekelilingnya. Apakah kita menyadari berapa meter jalan yang kita lewati, berapa jumlah pepohonan yang ada di sekeliling jalan itu tadi. Pernahkah kita memikirkan pemanfaatan potensi jalan dan pepohonan itu tadi?” paparnya dalam ilustrasi yang sederhana.
Dalam konteks pembangunan masyarakat pertanian, para peserta pelatihan yang dihelat di Balai Desa Jatiarjo ini menetapkan sembilan aset dan potensi desa. Berikut rincian dari Sembilan aset dan potensi tersebut:

1. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia adalah keahlian yang dimiliki masyarakat. Pada dasarnya keahlian ini dimiliki oleh perorangan. Meski demikian, mengetahui potensi keahlian masyarakat sebuah secara menyeluruh dapat mendorong masyarakat untuk saling bertukar informasi dan tenaga dalam membangun kesejahteraan bersama.

2. Komoditas Pertanian

Segala bentuk tumbuhan yang tumbuh di desa baik yang dibudidayakan atau tidak perlu diketahui oleh masyarakat. Mengetahui berbagai komoditas potensial akan memberikan gambaran prospek usaha pertanian yang mungkin dilakukan.

3. Sumber Daya Alam

Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang ada di lingkungan desa baik yang terkait dengan udara, tanah dan air. Sumber daya ala mini ada secara alami dan memberikan kehidupan bagi masyarakat. Dengan mengetahui semua kandungan sumber daya alam di desanya, masyarakat bisa merumuskan optimalisasi pemanfaatannya untuk kesejahteraan bersama.

4. Kelembagaan

Aset dan Potensi kelembagaan bisa berbentuk pemerintah atau organisasi-organisasi lain yang terkait langsung dengan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan sektor pertanian, potensi kelembagaan ini bisa berbentuk kelompok tani, Badan Usaha Milik Desa, koperasi, Himpunan Petani Pemakai Air dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini bisa jadi masuk dalam kategori aset dan potensi sosial manakala diprakarsai dan diinisiasi oleh masyarakat sendiri. Jika diprakarsai atau disponsori oleh pemerintah, organisasi-organisasi ini dikategorikan ke dalam kelompok kelembagaan.

5. Sosial

Organisasi-organisasi yang diinisiasi masyarakat yang tidak mendapatkan dana/ anggaran dari pemerintah atau sponsor dikategorikan sebagai aset dan potensi sosial. Contoh dari kategori ini adalah organisasi masyarakat seperti NU, Muhammadiyah, Muslimat perkumpulan jamaah tahlil dan banyak lagi yang lainnya.

6. Budaya  dan Spiritual

Potensi spiritual budaya terkait dengan praktik, nilai dan norma sosial yang penting dan menggairahkan kehidupan petani seperti nilai keimanan, kerelaan untuk berbagi, gotong-royong dan saling mendoakan. Praktik semacam selamatan desa untuk mensyukuri nikmat hasil panen yang diberikan oleh tuhan juga termasuk dalam kekayaan yang dimiliki masyarakat yang tak bisa dinilai harganya.

7. Finansial

Potensi finansial adalah segala sesuatu yang terkait dengan keuangan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber permodalan usaha petani. Segala sesuatu yang bisa dijual dan dimanfaatkan untuk usaha masyarakat bisa pula digolongkan dalam kelompok ini. Sumber-sumber keuangan seperti arisan petani, pendapatan asli desa (PADes) dan dana transfer adalah sebagian kecil contoh dari kelompok ini.

8. Fisik/ Infrastruktur

Aset dan potensi fisik terkait dengan sarana maupun prasarana yang dapat mendukung usaha pertanian. Wujud nyatanya bisa berupa sarana produksi (Saprodi) pertanian, alat transportasi, jalan desa dan balai pertemuan warga. Aset fisik dapat juga disebut sebagai infrastruktur dasar (baik berupa transportasi, shelter, air, energi, komunikasi).

9. Sumber Daya Informasi dan Jaringan

Kelompok aset dan potensi ini dapat terkait dengan alat (benda), lembaga atau perseorangan yang potensial sebagai media pertukaran informasi dan pengetahuan petani. Contoh dari kelompok ini adalah papan informasi, jaringan dan peralatan internet, dinas pertanian, lembaga swadaya masyarakat yang memiliki program pemberdayaan petani serta organisasi bisnis pertanian.

Cara Pemuda Desa Jatiarjo Kenalkan Potensi Daerahnya



Upaya pemuda Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan ini patut diacungi Jempol. Menyadari potensi kopi di desanya yang cukup menggiurkan, mereka menginisiasi keberadaan wisata Kampung Kopi. Nantinya, pengunjung akan disuguhi segala sesuatu berbau kopi.
Jika di Kabupaten Blitar ada wisata Kampung Cokelat, tempat dengan konsep serupa ini dikembangkan kelompok pemuda Jatarjo Guyub, Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Namun yang dikenalkan oleh pemuda setempat yaitu kopi. Maklum, potensi kopi di Desa Jatiarjo cukup menjanjikan.
Desa yang berada di lereng gunung Arjuno dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu, kini digarap serius oleh pemuda setempat. Ada sekitar 50 pemuda yang terlibat dalam komunitas tersebut. Mulai dari unsur karang taruna, Kelompok Informasi Masyarakat (KIM), pemuda pecinta alam, sampai kelompok tani.
Wisata Kampung Kopi tersebut mulai dirintis enam bulan terakhir. “Destinasi wisata baru, kami kembangkan di desa ini. Yakni Kampung Kopi. Konsepnya hampir sama dengan di Kabupaten Blitar, dengan kampung cokelatnya. Sejauh ini terus kami maksimalkan potensi yang ada,” ujar Nuroso Adi, Ketua Kelompok Pemuda Jatiarjo Guyub pada Jawa Pos radar Bromo, kemarin (22/3).
Kelompok pemuda di desa tersebut, mulanya menggarap budi daya kopi yang memang menjadi unggulan. Setiap anggota mendapat skill untuk budi daya, perawatan maupun pengolahannya. Jenis kopi yang dikembangkan di desa tersebut yakni Robusta dan Arabica organik.
Kopi tersebut diolah menjadi kopi bubuk siap seduh yang dikemas. Selama ini, proses pemasarannya melalui online. Bahkan, sejumlah produknya sudah tembus ke toko-toko modern maupun perhotelan. Sejumlah hotel pemesan kopi dari Jatiarjo diantaranya, Surabaya, Malang, Bandung, Jakarta, Bali, dan daerah lainnya.
“Baik Arabica maupun Robusta, keduanya memiliki ciri khas masing-masing. Tentunya cocok bagi penggemar bera kopi. Termasuk bisa menikmati langsung pengunjung saat datang ke Kampung Kopi di desa kami,” kata Renza, juga anggota kelompok pemuda Jatiarjo Guyub ini.
Sebelum ada rencana membangun wisata Kampung Kopi, petani setempat menjual hasil panen dalam bentuk mentah biji kopi. Sekarang, sebagian hasil panen diolah sendiri menjadi kopi siap seduh dalam kemasan. Nantinya, pengunjung yang datang ke wisata Kampung Kopi tersebut, akan mendapat suguhan yang semua berbau kopi.
Mulai kunjungan ke kebun kopi, baik di hutan maupun yang dibudidayakan warga. Kemudian pembibitan kopi, meracik kopi, sampai menyeduh kopi. Kelompok pemuda menyiapkan sejumlah tempat untuk segala aktivitas tersebut. Mulai di kebun kopi, sampai di pasar desa.
Pengembangan wisata Kampung Kopi sendiri, cukup potensial bagi desa Jatiarjo. “Desa kami ada di jalur wisata, akses utama menuju Taman Safari Indonesia (TSI) II Prigen. Dengan potensi itulah, akhirnya melalui kelompok ini, kami membentuk wisata Kampung Kopi di Desa Jatiarjo,” bebernya.
Di Desa Jatiarjo sendiri, lahan kebun kopinya mencapai ratusan hektare. Baik di pekarangan warga, maupun hutan lereng Gunung Arjuno. Akses menuju lokasi, bisa ditempuh dengan jalan kaki, naik motor, atau naik Jeep. Jaraknya , sekitar tiga kilometer dari kantor desa setempat.
Karena masih merintis, belum banyak masyarakat yang mengetahui adanya wisata tersebut. Meski begitu, seiring berjalannya waktu, Adi meyakini wisata Kampung Kopi akan banyak dikunjungi masyarakat. Terlebih, yang ditawarkan yakni konsep alam yang kini banyak digandrungi oleh wisatawan.
“Kami optimis ke depannya akan ramai. Kelompok kami menggarap wisata ini dengan serius. Memang tak mudah, tapi kami akan terus berusaha,” ujar Purnomo, salah seorang anggota lainnya.
Untuk memaksimalkan tujuan membangun wisata Kampung Kopi, pemuda setempat menggandeng sejumlah pihak. Mulai dari pemerintah desa setempat, petani, UPT Tahura R Soerja, sampai lembaga swadaya masyarakat (LSM) Averroes, asal Malang yang bergerak di bidang pemberdayaan. Pemuda desa setempat dididik lewat program Sekolah Inovasi tani Indonesia (SITI).
“Ini menjadi tantangan bagi kami. Kesempatan ada di depan mata dan tak boleh disia-siakan,” terang Purnomo. Setelah konsep wisata Kampung Kopi berjalan maksimal, kelompok pemuda itu akan membangun fasilitas penunjang. Mulai dari membuat bumi perkemahan, permainan flying fox, sampai arena outbond. (rf)

Keripik Gadung, Proses Pengolahan Hingga Peluang Pasarnya


March 21, 2017

Gadung merupakan tanaman umbi-umbian yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif bahan pangan. Meski demikian, perlu kehati-hatian dalam mengolah buah ini. Jika tidak bisa mengolah secara baik, maka keracunan akan mengancam. Racun yang terkandung di dalam ubi gadung mampu membuat seseorang yang memakannya menjadi mual dan pusing. Hal itu bisa dihindari dengan teknik pengolahan yang benar.
Selain teknik pengolahan, warga Jatiarjo juga memiliki cara unik untuk mengenali gadung yang beracun atau tidak. Caranya adalah dengan melihat arah lilitan batang gadung yang menjalar. Jika batang gadung melilit ke kanan berarti gadung tersebut tidak beracun. Sebaliknya, jika ke kiri, maka gadung tersebut beracun.
Sifat dasar ubi gadung yang beracun tidak serta-merta menjadikan ancaman bagi warga Jatiarjo. Keadaan ini justru menciptakan peluang bisnis bagi mereka. Adalah para ibu tani di Desa Jatiarjo yang menemukan peluang bisnis dari gadung yang beracun itu. Mereka mengubah gadung menjadi keripik yang memiliki cita rasa enak, renyah dan tentu saja memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Keripik gadung merupakan produk unggulan Desa Jatiarjo. Sebenarnya banyak jenis produk-produk keripik lain yang juga diproduksi para ibu tani kreatif Desa Jatiarjo. Produk-produk tersebut antara lain, keripik singkong, pisang, ubi jalar, tingting jahe dan keripik mbothe (talas). Namun demikian, keripik gadung masih menjadi primadona olahan yang dihasilkan oleh tangan-tangan terampil para ibu tani tersebut.
Gadung dapat dipanen pada umur dua tahun setelah ditanam. Meski masa panen dilakukan sekali dalam dua tahun, namun ketika panen, satu tanaman gadung mampu menghasilkan satu Kwintal umbi.
Panenne yo katah, sekali panen bisa mencapai satu Kwintal per pohonnya. Ukurannya juga besar-besar,” terang Wasis.
Ide untuk mengolah gadung menjadi keripik muncul dari para ibu tani Desa Jatiarjo setelah melihat potensi pasarnya. Salah satu potensi pasar keripik gadung adalah sebagai jajanan saat peringatan hari besar agama. Permintaan keripik gadung meningkat pesat ketika mendekati lebaran. Menjelang bulan puasa, ibu-ibu tani di desa ini pasti berlomba-lomba untuk memproduksi keripik gadung.
“Kalau hari raya itu ibu-ibu sibuk semua membuat keripik,” terang Sunarnis.
Ibu-ibu tani Desa Jatiarjo umumnya mengambil bahan baku gadung dari kebun masing-masing. Bagi yang tidak memiliki kebun sendiri, atau yang tanamannya belum bisa dipanen, biasanya membeli gadung milik tetangganya.
“Bagi yang tidak punya atau kebunnya masih belum panen, kita beli dari tetangga, 60 ribu per Kwintal,” lanjut Sunarnis.

 Proses Pembuatan Keripik Gadung

Teknik atau proses produksi keripik gadung memang relatif rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Tidak semua orang bisa mengolah gadung menjadi keripik. Hal inilah yang membuat warga Jatiarjo berpeluang luas menguasai pasar keripik gadung. Selain itu, harga keripik gadung juga cukup tinggi.
“Meskipun prosesnya ribet tapi hasilnya (harga) lumayan,” ujar Ani, yang ditemui di sela Sekolah Tani pada Senin (6/3/2017).
Teknik produksi keripik gadung oleh ibu-ibu tani Desa Jatiarjo masih bersifat tradisional. Mulai dari pengupasan hingga keripik siap di pasarkan semua dikerjakan secara manual dengan tangan-tangan terampil mereka. Ani, salah satu pengrajin keripik gadung berbaik hati untuk berbagi ilmu pengolahan camilan renyah ini. Dari keterangannya, proses untuk mengubah ubi gandung menjadi keripik adalah sebagai berikut:
  1. Gadung dikupas dari kulit luarnya.
  2. Gadung yang telah dikupas kemudian diiris dengan pasah sesuai dengan selera, bisa tipis atau tebal.
  3. Hasil irisan gadung diwadahi keranjang kemudian ditaburi abu dapur dan garam. Fungsi penaburan abu dapur dan garam ini adalah untuk menghilangkan racun yang terkandung di dalam ubi gadung.
  4. Untuk menghilangkan racunnya, gadung di diamkan selama satu malam. Selama proses pemeraman ini, racun akan mengalir dari keranjang tersebut. Indikator bahwa racunnya sudah hilang adalah, irisan ubi gadung yang semula kaku akan menjadi lentur.
  5. Gadung yang sudah bersih dari racun diangkat dan dijemur di bawah sinar matahari.
  6. Gadung direndam di dalam wadah minimal tiga malam empat hari. Setiap hari air rendaman harus diganti dua kali, yaitu pada pagi dan sore hari. Perendaman kurang dari empat hari membuat rasa keripik kurang enak dan kurang gurih.
  7. Gadung diangkat kemudian dicuci hingga bersih dan ditiriskan.
  8. Masak air hingga mendidih, lalu tambahkan bumbu sesuai selera. Biasanya para ibu tani Jatiarjo menggunakan bumbu seperti bawang putih, ketumbar, garam dan penyedap rasa.
  9. Masukkan gadung yang telah dicuci bersih ke dalam air yang mendidih hingga matang. Ciri gadung yang matang adalah, perubahan warna dari yang mulanya putih susu menjadi bening.
  10. Gadung ditiriskan kemudian dijemur hingga kering.
  11. Kemas gadung yang sudah kering agar terhindar dari kerusakan.

 Pemasaran Keripik Gadung

Menurut keterangan Ani, harga keripik gadung mentah berbeda-beda, berkisar antara 25 ribu sampai 30 ribu per kilogram. Harga 30 ribu per kilogram berlaku untuk kriteria keripik gadung super. Kualitas super adalah keripik yang memiliki warna putih bersih, lebar dan tidak pecah.
Sayangnya, keripik gadung Jatiarjo masih dijual dalam bentuk keripik mentah, belum digoreng. Ani  mengatakan bahwa menjual dalam bentuk mentah itu lebih mudah. Ketika dijual dalam bentuk siap makan, dikhawatirkan rusak ketika tidak laku terjual.
Sementara jika melihat persaingan di pasar, tidak banyak produsen keripik gadung. Artinya, pasar masih sangat terbuka. Menurut keterangan Ani, salah satu pesaing produk keripik gadung adalah dari daerah Pacitan. Namun ia yakin bahwa keripik Jatiarjo mampu bersaing dengan menonjolkan kelebihannya. Yang membuat keripik gadung Jatiarjo berbeda adalah dijamin bebas dari bahan kimia. Proses pengolahan dengan cara tradisional dan alami menjadi jaminan keamanan bagi para konsumen. Keripik gadung Jatiarjo aman dikonsumsi meskipun dalam jumlah banyak.

Pemuda dan Pembangunan Desa


March 22, 2017



Bicara masalah pemuda adalah bicara masa depan. Kedudukan dan peran pemuda sangatlah penting dalam setiap aspek pembangunan. Dengan jiwanya, pemuda tak hanya mempunyai mimpi, akan tetapi, lebih dari itu pemuda mempunyai semangat dan daya dobrak yang bisa diandalkan. Di tangan pemudalah cita-cita dan harapan bangsa digantungkan. Bung Karno pernah berkata “Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia” (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Darah yang mengalir pada jiwa muda memang selalu berkobar-kobar. Kobaran api ini sudah semestinya di manfaatkan dengan baik. Bila api yang sedang menyala dan berkobar-kobar digunakan untuk hal-hal positif sudah barang tentu akan memberi manfaat. Kita tahu setiap terjadinya gerakan revolusioner tak lain pemudalah yang menjadi aktor utamanya.
Seperti yang sudah digambarkan di atas, Desa Jatiarjo, salah satu desa yang menjadi tuan rumah program Pendidikan Agrobinisnis Desa Inovatif (PADI). Anak-anak mudanya mempunyai semangat yang luar biasa untuk membangun desanya. Hal ini terbentuk karena pemuda Desa Jatiarjo mempunyai mimpi dan harapan yang besar untuk kemajuan masyarakatnya. Mimpi dan harapan yang besar untuk memberikan kemaslahatan untuk lingkungannya.
Dalam banyak hal di Desa Jatiarjo, pemudalah yang mempunyai antusiasme untuk menuju perubahan termasuk pada dunia pertanian. Mereka sadar bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan banyak inovasi di bidang pertanian.
Pada setiap bidang-bidang dalam kehidupan sehari-hari pemuda Jatiarjo selalu hadir untuk menjadi perintis dan pelaku utama. Dalam bidang pertanian, terdapat Qusairi yang mempunyai kesempatan belajar pertanian dan live in di Jepang. Dalam bidang pelatihan dan outbond ada Nuroso Adi yang menjadi penggeraknya. Dalam bidang seni dan budaya ada Syamsuri Ali yang menekuni dunia seni membatik. Dalam bidang inovasi pertanian dan pemasaran produk kopi, ada Renza Saputra sebagai pelaku dan ahlinya. Dalam bidang desain bangunan ada Imam Bukhori sebagai pakarnya, dan masih banyak pemuda-pemuda lain yang memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya.
Nuroso Adi, ketua kelas Sekolah Inovasi Tani menyadari betul betapa kayanya Desa Jatiarjo jika dilihat dari segi Sumber Daya Manusia. “Sebenarnya kita mempunyai banyak aset, akan tetapi kita belum bisa bersatu. Untuk itu kita mencoba memulai perubahan untuk kemajuan desa melalui pemuda.”
Dalam program PADI kali ini sebagian besar pesertanya adalah kawula muda yang ingin membangun desanya. Mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan semangat yang tinggi untuk belajar. Mimpi dan harapan mereka sangat besar dan merekalah yang menggerakkan masyarakat selama ini.
Suharno, Ketua BPD Desa Jatiarjo menyambut baik semangat anak-anak muda desa ini. Di tangan pemudalah pembangunan desa ini diteruskan. Dengan begitu harapan untuk kemajuan Desa Jatiarjo di masa depan semakin menemukan titik terangnya.
“Anak-anak muda desa sini mempunyai semangat yang tinggi. Saya senang, seperti dengan keikutsertaan mereka dalam kegiatan SITI ini. Ini sangat bagus. Yang terpenting itu positif, daripada mereka terjebak dalam hal-hal yang tidak baik,” ungkapnya. [Aris]
Analisis Potensi Pertanian, Langkah Awal Temukan Strategi Perbaikan

Analisis Potensi Pertanian, Langkah Awal Temukan Strategi Perbaikan



Analisis Potensi Pertanian, Langkah Awal Temukan Strategi Perbaikan


Wisata Kampung Kopi Jatiarjo
Dalam upaya percepatan pembangunan pertanian, Pemerintah Republik Indonesia berusaha mendorong pengembangan komoditas strategis di masing-masing wilayah. Pemerintah berharap pembangunan pertanian bisa dilakukan dengan cara clustering sesuai dengan karakter dan potensi masing-masing daerah.
Strategi pemerintah pusat tersebut kiranya tidak hanya relevan di level daerah, namun juga cocok untuk diterapkan di level desa. Jika dilakukan pemetaan potensi, tentu akan ditemukan komoditas unggulan yang dimiliki setiap desa. Dengan berfokus pada pengembangan komoditas unggulan desa, seluruh elemen stakeholder pertanian di tingkat desa bisa menjalankan upaya pembangunan secara lebih fokus, cepat dan efektif.
Pemilihan fokus pengembangan pada komoditas unggulan dirasa menjadi cara terbaik untuk pembangunan pertanian. Komoditas unggulan yang ada di tengah kehidupan masyarakat desa menunjukkan ketahanan dan kecocokan sebuah komoditas dengan kondisi geografis desa. Selain itu, bertahannya sebuah komoditas menjadi bukti bahwa komoditas tersebut juga cocok dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa.
Selama bulan Januari, Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Desa Wonosari Kecamatan Gondangwetan dan Desa Kalipucang, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan telah melakukan analisis potensi dan aset desa. Dari proses selama sebulan tersebut, ketiga desa telah menetapkan komoditas unggulan yang akan menjadi prioritas pembangunan pertanian.
Kondisi geografis di lereng gunung Arjuno dan potensi pasar wisata yang besar mendorong masyarakat Jatiarjo untuk menetapkan Kopi sebagai komoditas prioritas. Demikian pula dengan Desa Kalipucang, karena kondisi alam yang berada di lereng pegunungan serta kedekatannya dengan wisata Gunung Bromo, akhirnya masyarakat menetapkan kopi dan pisang sebagai komoditas prioritas. Lain halnya dengan Desa Wonosari, Desa ini bertekad untuk tetap melestarikan salak sebagai komoditas warisan nenek moyang. Letak strategis desa di dekat wilayah kota diyakini akan memudahkan proses pemasaran.

Memanfaatkan Potensi, Perkuat Komunikasi menuju Wisata Kampung Kopi

Membincang Jatiarjo sebagai desa pertanian, selama ini Jatiarjo merupakan desa dengan sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani. Namun demikian, produk pertanian yang dijual masyarakat masih sebatas produk mentah bukan olahan. Masyarakat desa ini berharap desanya terkenal sebagai desa pertanian dengan kopi sebagai komoditas unggulannya.
“Paling tidak harus muncul branding teko Jatiarjo. Entah produk pertanian apa yang jelas itu milik dan khas Jatiarjo,” ujar Samsuri, tokoh petani muda saat ditemui di kediamannya di Dusun Cowek.
Melalui forum-forum yang intens diadakan selama bulan Januari, masyarakat menyepakati sebuah cita-cita bersama yakni menjadikan Jatiarjo sebagai desa wisata kopi. Sebenarnya embrio wisata berbasis masyarakat sudah ada di desa ini. Kelompok Tani Sumber Makmur Abadi telah memiliki kebun sayur organik yang juga menjadi destinasi wisata edukasi bagi siswa dari berbagai sekolah. Kelompok pemuda yang tergabung dalam merek Kopi Tjap Djaran juga telah memulai usaha wisata tour kopi.
Munculnya dua inisiatif tersebut berkaitan erat dengan optimisme terhadap potensi internal desa Jatiarjo. Kemunculan ide untuk membuat konsep wisata tour kopi terinspirasi dari para petani sepuh yang telah berjuang mengawali penanaman kopi di lahan hutan. Para petani tersebut telah membangun jalan menuju lahan kopi di hutan selama tiga belas tahun. Waktu, tenaga dan biaya untuk membangun tersebut ditanggung secara swadaya oleh masyarakat sendiri. Beberapa orang bahkan rela tinggal di hutan agar bisa memadamkan kebakaran hutan setiap saat.
Renza Saputra, inisiator wisata tour kebun kopi sekaligus pemilik merek Kopi Tjap Djaran mengaku terdorong untuk mengabdi kepada masyarakat karena melihat kegigihan para petani untuk menjaga hutan. Akhirnya, ia bersama beberapa pemuda lain bertekad untuk turut menjaga kelestarian hutan dan menyejahterakan masyarakat. Konsep wisata tour kebun kopi menjadi sebuah solusi yang mempertemukan dua kepentingan tersebut.
“Saya berpikir kalau masyarakat sejahtera, mereka tidak akan merusak hutan. Jadi kami berpikir bagaimana caranya membuat sebuah produk dari dari hasil panen petani hutan ini. Produk olahan pasca penennya itu bisa bermanfaat bagi masyarakat dan juga buat hutan. Jadi memberdayakan masyarakat dengan (penjualan) produk itu, meningkatkan kapasitasnya dan prinsip-prinsip konservasi tetap dilakukan,” ujar Renza.
Berbekal pengalaman di bidang usaha wisata, mereka belajar tentang ilmu pengolahan kopi kemudian mengintegrasikannya dengan konsep wisata. Wisatawan yang datang diajak berjalan menuju kebun kopi di tengah hutan. Di sana, para wisatawan ini diajak menjalani kehidupan sebagai petani kopi. Setiap sesi wisata wajib diakhiri penanaman pohon sebagai wujud nyata kepedulian terhadap hutan.
“Petani yang kebetulan ditempati kegiatan wisata mendapat untuk merawat pohon kopi yang telah ditanam oleh wisatawan. Dengan begitu petani akan menjaga hutan. Nah si wisatawan akan kami hubungi saat kopi yang ditanamnya di kemudian hari besar berbuah. Dengan begitu mereka akan selalu menjadi pengunjung yang akan selalu kembali berwisata ke sini,” ucapnya sambil terkekeh.
Embrio wisata kopi yang telah dimulai oleh Renza beserta rekan-rekannya tersebut akan semakin dikembangkan dalam sebuah konsep wisata kampung kopi. Untuk menyongsongnya, para pemuda desa berusaha memanfaatkan semua aset dan potensi yang ada di desanya.
Ibarate wes duwe asset pasar deso misale. Bangunane kan onok. Yok opo kinare ngemase. Tapi kudu disiapno disek produke. Nek pasar deso iki nanti hanya jualan seperti pasar tradisional, maka konsumennya hanya orang lokal. Lha kebutuhan mereka kan Cuma Sembako dan sebagainya. Kalau bikin pasar wisata tidak hanya produk khas Jatiarjo yang harus disiapkan tapi juga masyarakatnya harus siap,” ujar Samsri.
Perlu kolaborasi serius antara masyarakat dan pemerintah desa untuk menyiapkan konsep kampung wisata kopi ini. Untuk itu, para pemuda desa Jatiarjo akan segera mengajak Badan Permusyawaratan Desa dan perangkat desa untuk menyelenggarakan musyawarah desa terkait persiapan wisata kampung kopi.
Pokoke saiki ayo dibangun komikasine kabeh seng ono neng deso iki,” tukasnya.

Analisis Potensi Temukan Pupuk Alami

Berbeda dengan Jatiarjo, masyarakat Desa Kalipucang memilih untuk memperbaiki kondisi pertanian dari hulu. Jauh sebelum melakukan aktivitas pasca panen, mereka memilih untuk memperbaiki faktor-faktor penentu keberhasilan panen. Salah satu faktor utama penentu keberhasilan tersebut adalah ketersediaan pupuk. Untuk itu, masyarakat desa Kalipucang bersama dengan program PADI melakukan beberapa inisiatif penyediaan pupuk dari bahan-bahan yang mudah diperoleh di desa tersebut.
Tri Wahyu, fasilitator program yang bertugas untuk mendampingi masyarakat Kalipucang berusaha mengajak masyarakat untuk memanfaatkan bio slurry (ampas biogas) agar tak terbuang sia-sia. Menurutnya, ketersediaan ampas bio slurry di desa ini masih sangat banyak.
“Setelah melakukan analisis potensi, kita temukan ada potensi melimpah berupa slurry biogas. Lalu pada tanggal 17 Februari kemarin kita belajar memanfaatkan itu untuk media tanam di rumah maupun untuk di kebun,” ujar Tri.
Bio slurry telah terbukti sebagai pupuk yang baik bagi tanaman. Kandungan organiknya bermanfaat untuk memperbaiki struktur tanah. Sebagai pupuk, bio slurry juga bisa dimanfaatkan untuk pakan ikan.
Beberapa warga desa Kalipucang telah membuktikan nilai lebih dari pemanfaatan bio slurry ini. Pemanfaatan bio slurry sebagai pupuk terbukti bisa membuat tanah lebih remah atau gembur. Selain itu, pupuk ini juga dapat mengikat air dan menghidupkan mikroba pada tanah.
Wiwik dan Yusuf adalah sepasang suami istri yang menanam bawang dan cabai di pekarangan. Dengan memanfaatkan bio slurry, hasil panen yang mereka dapatkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan hasil panen dengan pupuk kimia.
“Dua polyback tanaman bawang merah yang benihnya diambil dari sisa di dapur saja bisa menghasilkan 1 kilogram. Ini bukti bahwa bawang juga cocok ditanam di desa ini. Dengan pemanfaatan slurry sebagai media tanam tentunya,” lanjut Tri.
Proses produksi bio slurry pun cukup mudah. Kotoran sapi yang telah diproses oleh digester dan telah mengeluarkan gas metana kemudian menghasilkan limbah. Limbah sisa proses tersebut sudah menjadi bio slurry. Karena kemudahan proses pengolahan ini, bio slurry ini kemudian disadari oleh masyarakat lebih unggul dibandingkan dengan pupuk kompos.
Selain pemanfaatan bio slurry, Tri dan masyarakat juga melakukan proses belajar mengenai pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL) atau yang juga disebut Efektif Mikro (EM). Karena analisis potensi pula diperoleh kesadaran bahwa terdapat potensi pisang yang begitu melimpah. Sejauh ini pisang hanya dimanfaatkan buahnya adapun bonggolnya dibiarkan begitu saja.
“Karena di sini sumber dayanya pisang, maka kita menggunakan bonggolnya yang sudah busuk dengan sedikit perlakukan, maka itu sudah bisa menjadi mikro organisme digunakan untuk menyehatkan tanah,” ujar Tri menceritakan proses menemukan potensi tersebut.
Sama dengan bio slurry, pembuatan Mikro Organisme Lokal dari bonggol pisang juga cukup mudah. 1 Kg. bonggol pisang dipotong-potong kecil lalu ditumbuk. 2 Ons gula merah diiris-iris lalu dimasukkan dalam 2 liter air cucian beras. Adonan air cucian beras dan bonggol pisang dicampur lalu dimasukkan dalam jerigen dengan tutup rapat. Setiap 2 hari tutup jerigen dibuka. Dalam waktu 15 hari MOL siap digunakan.
“Setelah 15 hari ini cairan mikro organisme bisa disebar untuk menyehatkan tanah,” ujar pria yang telah berpengalaman dalam dunia pertanian organik tersebut.
Dengan dua pupuk alami ini, masyarakat Desa Kalipucang berharap dapat meminimalisir pengeluaran. Selain itu, slurry dan MOL bonggol pisang akan didorong untuk diproduksi secara massal. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan hasil panen baik untuk komoditas susu, maupun kopi dan pisang yang ditetapkan sebagai komoditas unggulan desa.

Sunday 19 March 2017

Membangun Kekuatan Pertanian Melalui Kelompok Tani

Membangun Kekuatan Pertanian Melalui Kelompok Tani

Membangun Kekuatan Pertanian Melalui Kelompok Tani

Kelompok Tani Jatiarjo Pasuruan
Kelompok tani menjadi satu wadah bagi para anggotanya untuk melakukan gerakan bersama dalam usaha pertanian. Gerakan ini umumnya berada pada ruang yang sangat cair, para petani saling bertukar gagasan dan pengetahuan demi perkembangan pertanian. Selain itu, gerakan kelompok tani juga merupakan wujud dari aktualisasi program dari pihak ketiga atau misi internal dari kelompok itu sendiri. Oleh karenanya, keaktifan kelompok tani bisa menjadi satu tolak ukur untuk melihat sejauh mana berkembangnya industri pertanian di suatu wilayah atau desa.
Kelompok tani di Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan menjadi satu contoh dinamika yang menarik untuk diperbincangkan. Di desa ini sedikitnya terdapat sepuluh kelompok tani yang tersebar di tiga dusun. Dari sepuluh kelompok tersebut, lima di antaranya merupakan kelompok tani aktif. Subur Makmur 1, Subur Makmur 2, Subur Makmur 3, Sumber Makmur Abadi, dan Rejo Tani adalah lima kelompok tani yang Nampak aktif berkegiatan. Keaktifan kelompok-kelompok ini dapat dilihat melalui kegiatan dan program yang dilaksanakan secara rutin. Menariknya, masyarakat desa ini merasa, bahwa kelompok tani benar-benar dapat menjadi sarana pendorong peningkatan perekonomian petani.
Di tengah kegiatan yang aktif tersebut, kelompok tani di Desa Jatiarjo masih menghadapi masalah yang perlu untuk disuarakan. Saat ini petani sedang menghadapi satu desakan yang nyata. Sebagaimana dinyatakan oleh sebagian besar narasumber dari Kelompok Tani Desa Jatiarjo, mereka sepaham mengatakan bahwa kondisi alam berubah-ubah tidak menentu. Ditambah lagi, penyempitan lahan pertanian juga telah menjadi satu permasalahan serius bagi desa ini.
Kesepahaman ini menjadi titik balik bagi petani Desa Jatiarjo untuk berhimpun demi menciptakan gerakan bersama. Sebuah gerakan adaptif terhadap kondisi lingkungan dan pengembangan industri pertanian. Gerakan tersebut akhirnya melahirkan solidaritas dalam wujud banyaknya kelompok tani di desa ini. Praktiknya, kelompok tani di Desa Jatiarjo memang dapat menunjukkan satu hasil kreatif mengembangkan pertanian bagi masing-masing anggotanya.
Akan tetapi, beberapa hambatan dan masalah disebutkan masih melilit kondisi kelompok tani mereka. Di antaranya, belum adanya satu agenda komunikasi antar kelompok tani, minimnya pendampingan yang berkelanjutan dari pemerintah dan pihak ketiga serta kesadaran petani yang masih rendah dalam berkelompok.
Muchammad Ta’im, ketua Rejo Tani misalnya, Ia begitu mengharap adanya forum yang dapat mengumpulkan jejaring kelompok tani dari seluruh penjuru Desa Jatiarjo. Sebab, selama ini forum yang membahas pertanian hanya terdapat di masing-masing kelompok tani. Pun demikian dengan Murtolo, Kelompok Subur Makmur 2. Ia juga mengharapkan satu forum dialog yang bisa menjadi tempat berbagi gagasan antar kelompok tani. Harapan ini kemudian juga ditegaskan oleh Sareh, Kepala Desa Jatiarjo
“Selama ini memang belum ada forum atau agenda kumpul bareng antar kelompok tani. Sebetulnya saya sangat mengharapkan adanya agenda seperti itu. Karena melalui agenda kumpul bareng, setidaknya mereka punya misi bersama” ungkapnya.
Pada aspek pendampingan, para petani yang tergabung dalam berbagai kelompok tani juga senada menyebutkan jika selama ini proses pendampingan dari pihak ketiga atau pemerintah hanya “mengejar target” . Ketika program telah usai, sebagian besar mereka melepaskan diri, tanpa ada kegiatan yang berlanjut. Proses pendampingan yang berkelanjutan begitu diharapkan, karena sistem pertanian yang baik tidak bisa dibentuk dengan waktu yang cepat.
Para ketua kelompok tani di Jatiarjo juga menggaris bawahi bahwa minimnya kesadaran dari para petani menjadi tugas berat. Kesadaran tersebut adalah terkait dengan kegiatan bertani secara inovatif. Hal semacam ini dinyatakan oleh Hidayat, “nakhoda” Kelompok Tani Sumadi. Ia mencotohkan ketika ada inovasi dalam penanaman sayuran organik, petani cenderung menunggu sejauh mana inovasi tersebut menghasilkan pendapatan yang nyata. Setelah terdapat bukti keberhasilan, mereka baru mau bergerak. Dengan kata lain, kebanyakan petani takut untuk mengambil risiko.
Dalam segi partisipasi politik, Sareh menyebutkan bahwa selama ini memang belum ada anggaran khusus terkait pertanian. Penyebabnya adalah pola pikir masyarakat yang cenderung meminta pembangunan infrastruktur dalam segi fisik saja. Sehingga anggaran khusus terkait pertanian atau yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan petani belum dialokasikan.
Melihat hambatan dan tantangan tersebut, maka sebenarnya tersimpan harapan besar dari para kelompok tani Jatiarjo. Ini tidak lepas dari komitmen para pemangku kepentingan, kelompok tani dan pemerintah desa untuk berbenah diri. Salah satu upaya konkret yang akan dilakukan misalnya membentuk forum dan agenda kumpul kelompok tani. Dari agenda tersebut nantinya pemerintah desa mengharapkan adanya usulan yang dikeluarkan oleh kelompok tani kepada pemerintah desa. Sehingga, aturan perencanaan desa yang bersifat pendek atau jangka menengah memiliki kerangka khusus untuk memfasilitasi kebutuhan para petani dan kelompoknya.
Masa depan kelompok tani Jatiarjo menjadi satu komitmen untuk digapai bersama. Satu pertegasan bahwa saat ini petani juga memiliki mimpi untuk mempertahankan eksistensinya di tengah jeratan industrialisasi. Mimpi yang akan menjadi inspirasi untuk mengembalikan dan mengembangkan sumber daya alam negeri agraris yang melimpah ruah. Bagaikan pepatah Jawa: “Memayu Hayuning Bawana,” Memperindah Keindahan Dunia. Kiranya sudah saatnya petani menentukan masa depan dan menggapai mimpinya.
Jatiarjo, Desa Pertanian Terkemuka Sejak Jaman Penjajahan Belanda

Jatiarjo, Desa Pertanian Terkemuka Sejak Jaman Penjajahan Belanda


Jatiarjo, Desa Pertanian Terkemuka Sejak Jaman Penjajahan Belanda


Tim Pelaksana Program Padi Sedang Menikmati Kopi Jatiarjo di Kediaman Samsuri
Jatiarjo adalah salah satu desa yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Desa yang terletak di lereng Gunung Arjuno ini memiliki iklim yang sejuk dan tanah yang subur. Oleh karenanya, di Jatiarjo tersimpan potensi sumber daya alam yang melimpah, khususnya di bidang pertanian dan perkebunan.
“Kesuburan tanah membuat Jatiarjo memiliki banyak komoditas. Yang paling banyak di sini adalah kopi, nangka, gadung dan sayuran organik,” papar Syamsuri, tokoh pemuda Jatiarjo.
Sejarah mencatat bahwa potensi Jatiarjo telah dikenali oleh Pemerintah Kolonial sejak era tanam paksa. Belanda mendatangkan orang-orang dari Madura untuk dibawa ke desa ini. Mereka dipaksa untuk menanam sayur-sayuran, palawija, tanaman tegakan hutan hingga buah-buahan.
Jejak-jejak peristiwa tanam paksa itu masih bisa terlihat hingga saat ini. Dua dari tiga dusun di Desa Jatiarjo (Tegal Kidul dan Tonggowa) dipenuhi warga keturunan Madura. Ragam pertanian dan keberadaan warga keturunan Madura tersebut menjadi bukti bahwa kesuburan tanah dan kondisi iklim merupakan potensi yang sudah ada sejak lama.
Selain budi daya komoditas tersebut di atas, di Jatiarjo juga terdapat kegiatan budi daya tanaman kopi. Tepatnya di Dusun Cowek, komoditas ini dibudidayakan di lahan milik Perhutani. Menurut Mochammad Tha’im, salah satu petani kopi di Dusun Cowek, sejarah tanaman kopi dimulai puluhan tahun yang lalu atau berbarengan dengan periode awal dibangunnya Taman Safari Indonesia 2.
Pembangunan kawasan Taman Safari Indonesia 2 di Jatiarjo membuat banyak warga kehilangan lahan pertaniannya. Oleh karenanya, para warga setempat mulai menanami lahan Perhutani tanpa izin. “Mulanya, petani semacam merampas lahan dari Perhutani lantas menggarap lahan hutan dengan tanaman palawija. Tanaman palawija ini kemudian sering dicabuti oleh mandor Perhutani. Tak jarang, terjadi konflik antara petani dan pihak Perhutani,” ujar Tha’im.
Lambat laun konflik antara keduanya mulai mereda. Hal tersebut terjadi pasca diwujudkannya kesepakatan antar keduanya. Kesepakatan tersebut berisi petani boleh bercocok tanam di lahan Perhutani asalkan tidak mengganggu tanaman tegakan. Hingga akhirnya, dari kesepakatan tersebut, tanaman kopi dipilih karena dirasa tidak mengganggu tanaman tegakan dan juga menguntungkan petani.
Lebih lanjut, Tha’im menjelaskan bahwa status lahan Perhutani yang digarap oleh warga Jatiarjo adalah lahan kelola bukan hak milik. Lahan Perhutani yang dikelola oleh petani desa ini kurang lebih seluas 350 hektar. Luasan tersebut menjadi garapan bagi 500 petani.
Ada sebuah hal unik dari cerita Tha’im mengenai luasan lahan garapan tersebut. Ia menceritakan bahwa luasan hak kelola oleh masyarakat tergantung siapa yang lebih banyak mbabat (membuka lahan) hutan. Tidak pernah ada pertentangan antar masyarakat meski luas lahan yang mereka garap berbeda-beda. Bagi orang yang sejak awal membuka lahan luas, hingga kini ia mengerjakan lahan yang luas pula. Sebaliknya, bagi yang membuka lahan sempit, hingga kini ia menggarap lahan yang sempit.
“Jadi, dulu itu kalau sudah ada orang membuka lahan dengan luasan tertentu meskipun sudah ditinggal beberapa bulan, asal ada penanda maka tidak akan ada warga lain yang mengakui bahwa itu adalah lahannya. Ibaratnya ditanami pisang satu batang saja, itu sudah menjadi penanda. Tidak ada yang boleh mengaku-ngaku atas lahan itu,” ujar pria yang juga menjabat sebagai ketua Kelompok Tani Rejo Tani.
“Kelompok Rejo Tani diketuai oleh Tha’im. Jumlah anggota aktif sebanyak 25 anggota. Masing-masing dari anggota menggarap lahan antara 1 hingga 2 hektar dengan jumlah tanaman kopi masing-masing anggota berkisar antara 2000-3000 tanaman.”
Sampai hari ini, hasil panen komoditas kopi hanya dipasarkan dalam bentuk bijian. Setelah panen kopi melalui proses pengeringan dan pengupasan kulit luar, hasil panen langsung dijual. Hal ini dilakukan karena memang belum tersedia alat untuk memproses lebih lanjut. “Saya pribadi berharap agar ada bantuan berupa alat dan pelatihan sehingga pengelolaan pasca panen kopi lebih bisa dimaksimalkan,” terangnya

Kepala Desa Jatiarjo Bapak Sareh Rudianto: Dokumentasi Memang Menjadi Kendala di Jatiarjo


Sebagai rangkaian kegiatan asesmen profil desa dan profil pertanian di Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Tim Program PADI laksanakan Focuss Group Discussion (FGD) Asesmen Program, Jum’at (30/12) malam. FGD tersebut dilaksanakan untuk mendalami dan mengkonfirmasi data hasil wawancara dan penelitian lapang yang sudah dilakukan sejak 16 Desember kemarin.
Dalam pengantar awalnya, Edi Purwanto yang menjadi fasilitator forum menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan asesmen. “Kami ingin memotret dan melihat profil desa dan pertanian di Desa Jatiarjo. Hingga nantinya data tersebut akan kami olah dan gunakan sebagai data awal perencanaan kegiatan sekolah lapang. Data tersebut nantinya juga akan kami serahkan kepada pihak desa untuk dijadikan file desa,” terangnya.
Sementara itu, Sareh Rudianto, Kepala Desa Jatiarjo, menyambut baik penelitian yang dilakukan oleh Tim Program PADI. “Saya ucapkan terimakasih untuk teman-teman dari Averroes sudah melaksanakan penelitian di desa kami. Tentunya, penelitian tersebut saya yakin akan bermanfaat bagi kami di Desa Jatiarjo,” katanya.
Lebih lanjut, Sareh menambahkan bahwa selama ini pihaknya memang terkendala dengan keberadaan dokumen fisik terkait profil pertanian. “Kelompok Tani di Jatiarjo ada banyak. Semuanya berjalan dengan baik. Namun begitu, kami tidak bisa memungkiri bahwa dokumen fisik yang berisi profil pertanian dan kelompok tani di Desa Jatiarjo memang belum terdokumentasi dengan baik. Jika ada, masih terpecah di masing-masing kelompok tani, itupun tidak semuanya punya,” jelasnya.
FGD yang dimulai pukul 20.00 WIB di Balai Desa Jatiarjo ini juga dihadiri oleh perwakilan dari kelompok-kelompok tani, pemerintah desa, tokoh pemuda, dan beberapa tokoh masyarakat.