Dalam upaya percepatan pembangunan pertanian, Pemerintah Republik
Indonesia berusaha mendorong pengembangan komoditas strategis di
masing-masing wilayah. Pemerintah berharap pembangunan pertanian bisa
dilakukan dengan cara clustering sesuai dengan karakter dan potensi masing-masing daerah.
Strategi pemerintah pusat tersebut kiranya tidak hanya relevan di
level daerah, namun juga cocok untuk diterapkan di level desa. Jika
dilakukan pemetaan potensi, tentu akan ditemukan komoditas unggulan yang
dimiliki setiap desa. Dengan berfokus pada pengembangan komoditas
unggulan desa, seluruh elemen stakeholder pertanian di tingkat desa bisa menjalankan upaya pembangunan secara lebih fokus, cepat dan efektif.
Pemilihan fokus pengembangan pada komoditas unggulan dirasa menjadi
cara terbaik untuk pembangunan pertanian. Komoditas unggulan yang ada di
tengah kehidupan masyarakat desa menunjukkan ketahanan dan kecocokan
sebuah komoditas dengan kondisi geografis desa. Selain itu, bertahannya
sebuah komoditas menjadi bukti bahwa komoditas tersebut juga cocok
dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa.
Selama bulan Januari, Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Desa Wonosari
Kecamatan Gondangwetan dan Desa Kalipucang, Kecamatan Tutur, Kabupaten
Pasuruan telah melakukan analisis potensi dan aset desa. Dari proses
selama sebulan tersebut, ketiga desa telah menetapkan komoditas unggulan
yang akan menjadi prioritas pembangunan pertanian.
Kondisi geografis di lereng gunung Arjuno dan potensi pasar wisata
yang besar mendorong masyarakat Jatiarjo untuk menetapkan Kopi sebagai
komoditas prioritas. Demikian pula dengan Desa Kalipucang, karena
kondisi alam yang berada di lereng pegunungan serta kedekatannya dengan
wisata Gunung Bromo, akhirnya masyarakat menetapkan kopi dan pisang
sebagai komoditas prioritas. Lain halnya dengan Desa Wonosari, Desa ini
bertekad untuk tetap melestarikan salak sebagai komoditas warisan nenek
moyang. Letak strategis desa di dekat wilayah kota diyakini akan
memudahkan proses pemasaran.
Memanfaatkan Potensi, Perkuat Komunikasi menuju Wisata Kampung Kopi
Membincang Jatiarjo sebagai desa pertanian, selama ini Jatiarjo
merupakan desa dengan sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani.
Namun demikian, produk pertanian yang dijual masyarakat masih sebatas
produk mentah bukan olahan. Masyarakat desa ini berharap desanya
terkenal sebagai desa pertanian dengan kopi sebagai komoditas
unggulannya.
“Paling tidak harus muncul branding teko Jatiarjo.
Entah produk pertanian apa yang jelas itu milik dan khas Jatiarjo,” ujar
Samsuri, tokoh petani muda saat ditemui di kediamannya di Dusun Cowek.
Melalui forum-forum yang intens diadakan selama bulan Januari,
masyarakat menyepakati sebuah cita-cita bersama yakni menjadikan
Jatiarjo sebagai desa wisata kopi. Sebenarnya embrio wisata berbasis
masyarakat sudah ada di desa ini. Kelompok Tani Sumber Makmur Abadi
telah memiliki kebun sayur organik yang juga menjadi destinasi wisata
edukasi bagi siswa dari berbagai sekolah. Kelompok pemuda yang tergabung
dalam merek Kopi Tjap Djaran juga telah memulai usaha wisata tour kopi.
Munculnya dua inisiatif tersebut berkaitan erat dengan optimisme
terhadap potensi internal desa Jatiarjo. Kemunculan ide untuk membuat
konsep wisata tour kopi terinspirasi dari para petani sepuh
yang telah berjuang mengawali penanaman kopi di lahan hutan. Para petani
tersebut telah membangun jalan menuju lahan kopi di hutan selama tiga
belas tahun. Waktu, tenaga dan biaya untuk membangun tersebut ditanggung
secara swadaya oleh masyarakat sendiri. Beberapa orang bahkan rela
tinggal di hutan agar bisa memadamkan kebakaran hutan setiap saat.
Renza Saputra, inisiator wisata tour kebun kopi sekaligus
pemilik merek Kopi Tjap Djaran mengaku terdorong untuk mengabdi kepada
masyarakat karena melihat kegigihan para petani untuk menjaga hutan.
Akhirnya, ia bersama beberapa pemuda lain bertekad untuk turut menjaga
kelestarian hutan dan menyejahterakan masyarakat. Konsep wisata tour kebun kopi menjadi sebuah solusi yang mempertemukan dua kepentingan tersebut.
“Saya berpikir kalau masyarakat sejahtera, mereka tidak akan merusak
hutan. Jadi kami berpikir bagaimana caranya membuat sebuah produk dari
dari hasil panen petani hutan ini. Produk olahan pasca penennya itu bisa
bermanfaat bagi masyarakat dan juga buat hutan. Jadi memberdayakan
masyarakat dengan (penjualan) produk itu, meningkatkan kapasitasnya dan
prinsip-prinsip konservasi tetap dilakukan,” ujar Renza.
Berbekal pengalaman di bidang usaha wisata, mereka belajar tentang
ilmu pengolahan kopi kemudian mengintegrasikannya dengan konsep wisata.
Wisatawan yang datang diajak berjalan menuju kebun kopi di tengah hutan.
Di sana, para wisatawan ini diajak menjalani kehidupan sebagai petani
kopi. Setiap sesi wisata wajib diakhiri penanaman pohon sebagai wujud
nyata kepedulian terhadap hutan.
“Petani yang kebetulan ditempati kegiatan wisata mendapat untuk
merawat pohon kopi yang telah ditanam oleh wisatawan. Dengan begitu
petani akan menjaga hutan. Nah si wisatawan akan kami hubungi saat kopi
yang ditanamnya di kemudian hari besar berbuah. Dengan begitu mereka
akan selalu menjadi pengunjung yang akan selalu kembali berwisata ke
sini,” ucapnya sambil terkekeh.
Embrio wisata kopi yang telah dimulai oleh Renza beserta
rekan-rekannya tersebut akan semakin dikembangkan dalam sebuah konsep
wisata kampung kopi. Untuk menyongsongnya, para pemuda desa berusaha
memanfaatkan semua aset dan potensi yang ada di desanya.
“Ibarate wes duwe asset pasar deso misale. Bangunane kan onok. Yok opo kinare ngemase. Tapi kudu disiapno disek produke. Nek pasar deso iki nanti hanya jualan seperti pasar tradisional, maka konsumennya hanya orang lokal. Lha
kebutuhan mereka kan Cuma Sembako dan sebagainya. Kalau bikin pasar
wisata tidak hanya produk khas Jatiarjo yang harus disiapkan tapi juga
masyarakatnya harus siap,” ujar Samsri.
Perlu kolaborasi serius antara masyarakat dan pemerintah desa untuk
menyiapkan konsep kampung wisata kopi ini. Untuk itu, para pemuda desa
Jatiarjo akan segera mengajak Badan Permusyawaratan Desa dan perangkat
desa untuk menyelenggarakan musyawarah desa terkait persiapan wisata
kampung kopi.
“Pokoke saiki ayo dibangun komikasine kabeh seng ono neng deso iki,” tukasnya.
Analisis Potensi Temukan Pupuk Alami
Berbeda dengan Jatiarjo, masyarakat Desa Kalipucang memilih untuk
memperbaiki kondisi pertanian dari hulu. Jauh sebelum melakukan
aktivitas pasca panen, mereka memilih untuk memperbaiki faktor-faktor
penentu keberhasilan panen. Salah satu faktor utama penentu keberhasilan
tersebut adalah ketersediaan pupuk. Untuk itu, masyarakat desa
Kalipucang bersama dengan program PADI melakukan beberapa inisiatif
penyediaan pupuk dari bahan-bahan yang mudah diperoleh di desa tersebut.
Tri Wahyu, fasilitator program yang bertugas untuk mendampingi
masyarakat Kalipucang berusaha mengajak masyarakat untuk memanfaatkan bio slurry (ampas biogas) agar tak terbuang sia-sia. Menurutnya, ketersediaan ampas bio slurry di desa ini masih sangat banyak.
“Setelah melakukan analisis potensi, kita temukan ada potensi melimpah berupa slurry
biogas. Lalu pada tanggal 17 Februari kemarin kita belajar memanfaatkan
itu untuk media tanam di rumah maupun untuk di kebun,” ujar Tri.
Bio slurry telah terbukti sebagai pupuk yang baik bagi
tanaman. Kandungan organiknya bermanfaat untuk memperbaiki struktur
tanah. Sebagai pupuk, bio slurry juga bisa dimanfaatkan untuk pakan ikan.
Beberapa warga desa Kalipucang telah membuktikan nilai lebih dari pemanfaatan bio slurry ini. Pemanfaatan bio slurry
sebagai pupuk terbukti bisa membuat tanah lebih remah atau gembur.
Selain itu, pupuk ini juga dapat mengikat air dan menghidupkan mikroba
pada tanah.
Wiwik dan Yusuf adalah sepasang suami istri yang menanam bawang dan cabai di pekarangan. Dengan memanfaatkan bio slurry, hasil panen yang mereka dapatkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan hasil panen dengan pupuk kimia.
“Dua polyback tanaman bawang merah yang benihnya diambil
dari sisa di dapur saja bisa menghasilkan 1 kilogram. Ini bukti bahwa
bawang juga cocok ditanam di desa ini. Dengan pemanfaatan slurry sebagai media tanam tentunya,” lanjut Tri.
Proses produksi bio slurry pun cukup mudah. Kotoran sapi yang telah diproses oleh digester dan telah mengeluarkan gas metana kemudian menghasilkan limbah. Limbah sisa proses tersebut sudah menjadi bio slurry. Karena kemudahan proses pengolahan ini, bio slurry ini kemudian disadari oleh masyarakat lebih unggul dibandingkan dengan pupuk kompos.
Selain pemanfaatan bio slurry, Tri dan masyarakat juga
melakukan proses belajar mengenai pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL)
atau yang juga disebut Efektif Mikro (EM). Karena analisis potensi pula
diperoleh kesadaran bahwa terdapat potensi pisang yang begitu melimpah.
Sejauh ini pisang hanya dimanfaatkan buahnya adapun bonggolnya dibiarkan
begitu saja.
“Karena di sini sumber dayanya pisang, maka kita menggunakan
bonggolnya yang sudah busuk dengan sedikit perlakukan, maka itu sudah
bisa menjadi mikro organisme digunakan untuk menyehatkan tanah,” ujar
Tri menceritakan proses menemukan potensi tersebut.
Sama dengan bio slurry, pembuatan Mikro Organisme Lokal dari
bonggol pisang juga cukup mudah. 1 Kg. bonggol pisang dipotong-potong
kecil lalu ditumbuk. 2 Ons gula merah diiris-iris lalu dimasukkan dalam 2
liter air cucian beras. Adonan air cucian beras dan bonggol pisang
dicampur lalu dimasukkan dalam jerigen dengan tutup rapat. Setiap 2 hari
tutup jerigen dibuka. Dalam waktu 15 hari MOL siap digunakan.
“Setelah 15 hari ini cairan mikro organisme bisa disebar untuk
menyehatkan tanah,” ujar pria yang telah berpengalaman dalam dunia
pertanian organik tersebut.
Dengan dua pupuk alami ini, masyarakat Desa Kalipucang berharap dapat meminimalisir pengeluaran. Selain itu, slurry dan MOL bonggol pisang akan didorong untuk diproduksi secara massal.
Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan hasil panen baik untuk komoditas
susu, maupun kopi dan pisang yang ditetapkan sebagai komoditas unggulan
desa.